Wajib Baca! Inilah Cara Membangun Kesetiaan dalam Rumah Tangga

Daftar Isi

Wajib Baca! Inilah Cara Membangun Kesetiaan dalam Rumah Tangga
Abusyuja.com - Sahabatku, kesetiaan menjadi pilar yang menopang keberlangsungan rumah tangga. Banyak pasangan yang menikah, lalu menikmati keindahan hanya dalam tahun-tahun pertama saja, sesudah itu kebahagiaan mereka tak terasa lagi, tidak ada lagi kehangatan sebab telah berganti menjadi kegersangan. Tidak ada lagi “kita”, yang ada hanya “aku” dan “aku”.

Bagi kita yang sedang mempersiapkan diri untuk menikah atau yang sudah menikah, selalu terbuka ladang untuk ikhtiar. Kita bisa berupaya menjaga kesetiaan di tengah hubungan. Tentu saja, dengan bantuan Allah Swt. Tidak ada daya dan upaya kita, kecuali bersama Allah.

Pertama, berkomitmen dengan visi. Pernah seorang lelaki mendatangi Khalifah Umar bin Khaththab, lalu mengabarkan bahwa ia berencana untuk menceraikan istrinya. Setelah ditanya alasannya, ia menjawab, “Saya sudah tidak mencintainya lagi.”

Khalifah Umar bin Khaththab balas bertanya, “Apakah rumah tanggamu tidak bisa dibangun berdasarkan komitmen menjalankan agama Allah Swt.?”

Di antara unsur-unsur yang mengokohkan cinta, komitmen adalah unsur yang paling kuat dan berpengaruh. Apalagi kalau komitmen itu tidak hanya diikat dengan janji di antara dua pihak saja, tapi disandarkan pula kepada Allah Swt.

Menyandarkan visi pernikahan kepada Allah Swt. artinya pernikahan dijadikan sebagai jalan untuk beribadah. Sebab, kita hadir di dunia ini tujuannya ialah ibadah. Pernikahan tidak boleh menjadikan kita lupa tujuan, tapi pernikahan menjadi wahana ibadah yang harus dijalani dengan baik.

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyyat: 56)

Kedua, saling menolong dalam ketakwaan. Pada undangan-undangan walimah, kerap dilampirkan firman Allah Swt. berikut ini:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan Allah ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri (pasangan) dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram kepadanya (sakinah), lalu dijadikannya di antara kamu rasa ingin bersatu (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)

Sahabatku, penyebab ketenteraman (sakinah) yang bisa dirasakan orang menikah ialah kesucian. Mereka berpadu dalam hubungan yang halal, diikat dengan janji yang suci lagi berat (mitsaqan ghalizha), dan tugas yang mereka pikul juga suci. Lalu, Allah Swt. anugerahkan lagi rasa ingin bersatu-padu (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah). 

Itu semua adalah anugerah Allah. Kaum yang berpikir bisa melihat tanda-tanda dalam anugerah Allah ini, yaitu pernikahan bukanlah tujuan, tetapi sarana ibadah. Adapun keindahan di dalam pernikahan, itu adalah bumbu yang menambah cita rasa ibadah.

Nah, pasangan yang paling setia adalah pasangan yang saling tolong-menolong dalam mewujudkan visi pernikahan mereka (bertakwa). Mereka akan tetap setia, meskipun berat perjuangan hidup yang mesti dilalui.

Seperti Rasulullah Saw. dengan Ummul Mukminin Khadijah Ra. Cinta mereka abadi di tinta sejarah. Bukan hanya tentang kesetiaan, tapi juga andil dalam dakwah. Keduanya tolong-menolong dalam menegakkan agama Allah Swt. Inspirasi dari pernikahan Rasul dengan Ibunda Khadijah sudah banyak kita bahas di artikel ini.

Seperti halnya Ali bin Abi Thalib dan Fathimah binti Muhammad Saw., mereka menikah dalam keadaan yang sangat sederhana. Rumah dengan status utang, perabot didapatkan dari pemberian Rasulullah Saw. dan pinjaman dari para sahabat. Keduanya pun harus kerja keras untuk mencukupi kebutuhan. Fathimah sering terluka tangannya karena bekerja. Ali bin Abi Thalib harus menguras keringat dengan gigih untuk menafkahi keluarga.

Meskipun susah dan payah, pernikahan Ali bin Abi Thalib dengan Fathimah tetaplah menjadi pelajaran bagi kita semua. Mereka tak kenal henti tolong-menolong dalam takwa. Maka, satu sama lain menjadi sebab terbitnya kebahagiaan. Seperti saat Ali bin Abi Thalib mengenang Fathimah, “Bila kulihat wajahnya, hilanglah segala kesedihanku.”

Ketiga, komunikasi yang berkualitas. Komunikasi yang berkualitas tidak hanya akan menjadi sarana menyampaikan pesan, sehingga hasilnya pun tidak hanya pemahaman, tapi juga menumbuhkan kehangatan dan membangun kedekatan.

Dalam marriage contract yang biasa dipakai orang di Barat untuk mengikat pernikahan, biasanya juga menyangkut hal-hal terkait komunikasi. Misalnya, setiap hari siapa yang harus mengatakan “I love you” di waktu khusus, apa sapaan terhadap masing-masing di dalam rumah, dan seterusnya. 

Kita tidak harus melakukannya persis orang Barat dengan membuat perjanjian seperti marriage contract itu. Mari kita teladani saja rumah tangga Rasulullah Saw. Beliau ialah suami paling romantis dan yang paling baik memperlakukan istri dan keluarga. 

Rasulullah Saw. bersabda, “Sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik dalam memperlakukan istri (keluarga). Akulah yang paling baik di antara kamu dalam memperlakukan istri (keluarga).” (HR. Tirmidzi)

Rasulullah Saw. juga bersabda, “Sesungguhnya Allah menetapkan untuk berbuat ihsan atas segala sesuatu.” (HR. Muslim)

Untuk memanggil istrinya, Rasulullah Saw. membuat panggilan mesra, seperti saat beliau menyapa Ummul Mukminin Aisyah Ra. dengan “Humairah” (yang pipinya berwarna kemerah-merahan).

Tentu tidak hanya dalam sapaan, Rasulullah Saw. juga contoh teladan para lelaki untuk berlembut-lembut ketika berbicara. Beliau tidak marah, kecuali dalam urusan penting. Dan beliau Saw. juga menampakkan sikap-sikap yang baik terhadap istri. Sebab itulah, orang-orang yang meneliti sejarah hidup beliau selalu terkagum-kagum. Beliau baik dalam segala hal.

Keempat, pemberian-pemberian yang berkesan. Rasulullah Saw. juga bersabda, “Saling memberi hadiahlah kamu, maka kamu akan saling mencintai.”

Hadiah tidak harus mahal, sehingga kita pun bisa mencarikan yang ringan. Hanya saja, kita harus mengupayakan yang bisa memberikan kesan mendalam. Kesan itulah yang bisa menumbuhkan cinta, sebagaimana sabda Rasulullah Saw. tadi.

Di dalam buku Cahaya untuk Persahabatan, saya juga mencatatkan beberapa manfaat yang bisa didapatkan ketika kita memberi hadiah kepada seseorang. Orang yang kita beri hadiah tidak hanya merasa senang karena menerima kejutan, tapi juga merasakan bahwa ia dimengerti jika kita menghadiahkan sesuatu yang sangat dia sukai.

Trik lain agar hadiah bisa berkesan adalah mencoba mencari sesuatu yang dibutuhkan. Setiap orang akan sangat senang bila apa yang dibutuhkannya tiba-tiba sudah tersedia, apalagi yang mencukupkan kebutuhannya itu adalah orang dekat. Insyaallah, rasa cinta akan semakin tumbuh.

Oh ya, pemberian itu tidak hanya soal benda. Ada pasangan yang biasa saja bertukar hadiah, sebab zaman sekarang memberikan hadiah sudah tidak sulit lagi. Apalagi jika punya uang. Tinggal lakukan saja pembelian lewat online shop, barang dikirim. Mereka sudah tidak merasa berkesan lagi dengan itu, tapi mereka sangat butuh waktu. Oleh karena kesibukan masing-masing atau salah satunya (biasanya suami), sering kali tidak ada lagi waktu untuk berdua, tidak ada lagi waktu untuk berbicara. Padahal, waktu berkomunikasi seperti itu sangat besar dampaknya. Nah, untuk kasus ini, meluangkan waktu guna diisi berdua tentu sangat diutamakan daripada sekadar hadiah berupa benda.

Kelima, saling memberi pengertian dan penghargaan. Pernah suatu saat, Rasulullah Saw. bersama para sahabat duduk di rumah beliau, berbicara dan melahap kue buatan istri Rasulullah. Ibunda Aisyah Ra. datang, lalu tiba-tiba mengambil kue yang terhidang di depan para sahabat. Tidak hanya itu, kue itu juga dibanting dengan piring sekaligus.

Para sahabat pun menjadi terheran-heran, tidak mengerti apa yang terjadi. Rasulullah Saw. segera menjelaskan, “Tenanglah, ibunda kalian sedang cemburu.”

Rasulullah Saw. mengerti kenapa Aisyah Ra. berbuat demikian, yaitu karena beliau cemburu pada istri Rasulullah yang membuat kue. Berdasarkan pengertian Rasulullah itu, tidak ada kemarahan yang memuncak, justru ketenangan kharismatik yang hadir. Itulah buah dari pengertian.

Contoh lainnya adalah sikap dan tanggapan Ibunda Khadijah Ra. saat pertama kali turun wahyu kepada Rasulullah Saw. Saat itu, beliau lari dari gua Hiro’ ke rumah, dikarenakan ketakutan dan kecemasan yang membaur jadi satu. Rasulullah Saw. tidak bisa berkata apa-apa, melainkan hanya berucap, “Selimutilah aku! Selimutilah aku!”

Ibunda Khadijah Ra. mengerti bahwa saat itu Rasulullah Saw. sedang tidak bisa diajak bicara, maka beliau pun tidak bertanya. Beliau hanya menuruti apa yang diperintahkan oleh Rasulullah. Nanti, setelah tenang, toh Rasulullah bercerita sendiri.

Sikap Bunda Khadijah Ra. yang baik ini mestinyalah diteladani. Sering kali pertengkaran terjadi karena sang suami sedang tertekan oleh ketakutan dan kecemasan, tapi sang istri terus memperturutkan kepanikannya dengan bertanya-tanya. Padahal, saat itu yang dibutuhkan suami adalah ketenangan, tidak seperti umumnya wanita yang justru butuh bicara ketika ada masalah.

Adapun penghargaan, contohnya ialah tanggapan Ibunda Khadijah Ra. terhadap peristiwa turunnya wahyu pertama yang dialami Rasulullah Saw. Beliau memberi ketenangan lewat tuturnya yang lembut dan meyakinkan, “Engkau adalah orang yang baik, tulus membantu orang yang kesusahan, jujur dalam bertutur kata, dan kebaikan akhlakmu menjadi teladan bagi orang lain. Saya yakin, Allah Swt. tidak akan memberi keburukan untukmu.” 

Penghargaan itu soal cara kita mengingat apa yang baik dari pasangan, lalu mengutarakan dengan jelas kebaikan itu di saat pasangan perlu dikuatkan.

Contoh lain, wanita itu selalu intens perhatiannya dalam hal kecantikan. Termasuk dalam soal berat badan. Maka, wanita sering bertanya apakah menurut pasangannya ia telah bertambah gemuk atau tidak. Dan, anehnya, wanita selalu tidak puas apa pun jawaban yang diberikan. Kalau dijawab, “Tidak”, wanita itu tidak akan percaya, karena baginya penilaiannya harus disetujui. Kalau dijawab, “Iya”, wanita itu lebih histeris lagi. Ia akan berpikir bahwa kegemukannya tidak hanya dia yang merasakan, tapi orang lain pun sudah bisa melihat.

Nah, lelaki yang baik akan datang memberikan penghargaan yang menguatkan wanita pasangannya. Katanya dengan tersenyum ramah, “Sudahlah, tidak perlu merasa cemas. Bertambah gemuk sedikit tidak masalah. Toh, kecantikanmu yang terpancar dari fisik tidak mengalahkan cantik akhlak yang engkau perlihatkan. Aku pun mencintaimu bukan karena terpana cantik di fisik, namun karena kecantikan akhlak. Untuk akhlak mulia itu, cintaku tidak akan berubah. Soal fisik, bisa kok dijaga dengan riyadhah (olahraga) sama-sama.”

Begitulah, pengertian dan penghargaan itu tak terbatas hasil baiknya. Kita pun bisa melakukannya dalam segala keadaan yang kita lalui.