Nikah Muda Bikin Rentan Konflik? Salah!

Daftar Isi

Nikah Muda Bikin Rentan Konflik? Salah!
Abusyuja.com - Sahabatku, kita memang tidak memungkiri, ada begitu banyak anak muda di sekitar yang memutuskan untuk menikah, lalu beberapa waktu berikutnya rumah tangganya sudah pecah. Perceraian terjadi. Habis itu, kondisi anak dan kedua belah pihak menjadi memiriskan. Kenyataan itu menjadikan kita merasa khawatir untuk menikah di usia muda, begitu pula orang tua dan mertua. 

Menurut saya, penyebab utama rentannya terjadi konflik dalam rumah tangga bukan semata faktor usia. Tapi, kedewasaan dan kebijaksanaan. Banyak yang salah kaprah, menganggap bahwa status dewasa dan bijak itu seiring dengan usia. Idealnya memang begitu, semakin tua semakin dewasa. Tapi, kenyataannya, banyak anak muda yang sudah lebih dewasa dibanding orang yang lebih tua daripada mereka.

Kedewasaan dan kebijaksanaan itu lebih besar dipengaruhi oleh pembelajaran dan pengalaman hidup. Maka, bukan soal usia, tapi soal pembelajaran yang dilakukan sepanjang usia itu. Bila ilmu sudah mumpuni, maka emosi akan ditundukkannya. Ego juga tidak lagi memuncak-muncak. Sebaliknya, meskipun usia sudah kepala tiga, bahkan empat, ego dan emosi akan tetap sulit dikendalikan bila pikiran masih tertutup.

Sahabatku, soal ini, kitalah yang lebih tahu keadaan diri kita sendiri. Bukan orang lain. Mari memaksimalkan proses pembelajaran, agar kita bisa melihat banyak hal untuk dipertimbangkan dan tidak mengambil keputusan secara terburu-buru. Sifat terburu-buru dan tergesa-gesa inilah yang biasanya menjadi awal dari konflik.

Termasuk hal yang mesti kita pelajari adalah ilmu tentang pasangan kita. Buku tulisan Jhon Gray, Men Are From Mars, Women Are From Venus, misalnya. Di buku ini beliau membahas dengan lugas kecenderungan-kecenderungan umum lelaki dan wanita yang berbeda. Bagaimana caranya berbicara, bagaimana caranya agar masing-masing merasa berharga, dan bagaimana cara kita mengerti satu sama lain.

Satu di antara kecenderungan wanita, contohnya, ialah suka memendekkan kalimat dan overgeneralisasi. Ketika seorang wanita merasa tidak diperhatikan, ia akan berkata, “Kamu memang tidak pernah memerhatikan aku.” Ketika merasa tidak didengar, ia berkata, “Kenapa aku tidak pernah mendapatkan waktu untuk berbicara denganmu?”

Bagi lelaki, disebut “tidak pernah” seperti itu akan menaikkan darahnya. Maka, lelaki akan segera membantah, “Apa kamu bilang? Tidak pernah? Kalau begitu, selama ini siapa yang berada di dekatmu?”

Sahabatku, hal demikian itu tidak akan terjadi, kalau masing-masing saling memahami. Wanita yang sadar, tentu saja akan berusaha menghindari penggunaan kalimat-kalimat seperti itu. Ia tidak akan menjadikan kesedihannya di satu waktu menghanguskan kebahagaiaannya di waktu-waktu yang lain. 

Begitu juga lelaki, ketika ia menyadari bahwa istrinya sedang emosi dan tidak kuasa mengendalikan diri. Ucapan seperti itu tidak akan membuatnya naik darah. Ia akan mengerti maksudnya, lalu tidak terpancing untuk menanggapinya secara serius. 

Kenanglah Rasulullah Saw. Rumah tangga beliau juga tidak lepas dari konflik-konflik yang kecil dan besar. Konflik yang kecil itu seperti ketika Bunda Aisyah datang dan membanting piring berisi roti buatan istri Rasulullah Saw. yang lain. Waktu itu, Rasulullah Saw. yang sedang berada di tengah para sahabat hanya berkata, “Tenanglah, ibunda kalian sedang cemburu.” 

Adapun konflik besarnya, seperti tersebarnya hadisul ifk (berita bohong) terkait Bunda Aisyah Ra. dan seorang sahabat bernama Shafwan bin Muaththal. Kaum munafik memfitnah mereka berzina, padahal mereka terlepas dari tuduhan itu. Meskipun demikian, sebelum turun jawaban berupa penjelasan yang sebenarnya dari Allah Swt., Rasulullah Saw. mengalami kegundahan yang berat. Hanya saja, beliau tidak gegabah dalam bersikap. Beliau hanya mendiamkan Bunda Aisyah yang berada di rumah Abu Bakar, ayahnya. Lalu, kembali lagi seperti biasanya, setelah datang jawaban dari Allah yang menjelaskan bahwa mereka itu suci.

Sahabatku, sumber konflik adalah sifat gegabah, tergesa-gesa, terburu-buru, dan berbuat tanpa diawali dengan pemikiran yang bijaksana. Maka, kita bisa menangkalnya dengan selalu berhati-hati dalam berbicara dan berbuat, juga selalu berpikir sebelum mengambil tindakan. Selain itu, kita mestilah tetap meneruskan pembelajaran agar kebijaksanaan dan kedewasaan senantiasa tersemai pada diri kita.