Usia Terbaik untuk Menikah dalam Islam

Daftar Isi

Usia Terbaik untuk Menikah dalam Islam
Abusyuja.com - Sahabatku, saya pernah melihat sebuah imbauan bagi anak muda agar menikah di usia efektif. Tertulis di baliho itu, usia terbaik untuk menikah bagi seorang lelaki adalah di atas 25 tahun, bagi wanita di atas 22 tahun. Tidak ada alasan yang signifikan kenapa harus di usia tersebut. Pun, tidak dari segi kesehatan, padahal yang memasang baliho itu adalah lembaga terkait. 

Imbauan itu hanya berdasarkan prakiraan saja, melihat banyaknya anak muda yang menikah di bawah usia itu, lalu keluarganya hidup dengan keadaan ekonomi yang rendah. Alasan lain, pernikahan di usia muda memungkinkan semakin banyak anak yang dilahirkan. Ini berpotensi melejitkan pertambahan penduduk. Saya pikir, itu saja alasan sebenarnya.

Nah, bagaimana kita menyikapi hal ini? Di usia berapa seharusnya kita menikah?

Pertama, soal efektif atau tidaknya keputusan untuk menikah bukanlah dinilai dari usia, tetapi kesiapan kedua pihak. Ada lelaki yang usianya baru menginjak 22 tahun, tapi sudah jauh lebih siap dibanding lelaki lain yang berusia 27 tahun. Bekal keilmuannya sudah matang, bekal material sudah disiapkannya dengan baik, begitu juga kesiapannya memenuhi tangung jawab. Tentu saja pernikahannya akan lebih efektif dibanding yang semata lebih tua (sementara persiapannya tidak dilakukan dengan baik).

Kedua, pernikahan tidak hanya soal kebiasaan, tetapi juga soal kebutuhan. Masing-masing orang tentu lebih tahu apa yang dibutuhkannya. Kalau seseorang sudah kebelet menikah (meminjam istilah Ustadz Jauhar Al-Zanki), maka akan sama seperti orang yang kebelet ingin buang air, tidak ada obatnya selain memenuhi hajat itu. Kebelet nikah itu banyak sebabnya, di antaranya sudah tidak kuat menahan diri, puasa sudah tidak bisa membendung gejolak rindu di dada, dan sudah mulai merasa sepi hidup sendiri.

Ketiga, menikah karena khawatir terjadi bahaya itu jauh lebih mulia daripada menikah setelah bahaya terjadi. Tidak jarang ditemui, anak muda yang masih sama-sama berusia 20 tahun (atau bahkan kurang), sudah dinikahkan oleh keluarganya. Eh, baru 6 bulan setelah menikah, sudah lahir anak pertama. Katanya bayi lahir premature, padahal jelas sekali bedanya mana bayi yang premature dan mana yang cukup usia kandungannya (8,5 sampai 9,5 bulan). 

Begitulah, kalau bahaya seperti itu sudah terjadi, keburukan-keburukan lain akan ikut bersamanya. Maka, betapa mulia orangtua yang tidak hanya mengizinkan anaknya menikah muda, tapi juga bersedia membantu soal biaya sampai anaknya bisa mandiri, sebab mengkhawatirkan bahaya yang bisa saja terjadi. Pernikahan adalah jalan yang agung dan mulia. Siapa saja yang menempuh jalan ini guna meraih tujuan yang suci, Allah Swt. tidak akan menyia-nyiakan mereka. 

Keempat, telah datang seorang lelaki yang baik agama dan akhlaknya, maka wali seorang gadis menikahkannya dengan anak gadis mereka. Contohnya dalam hal ini adalah Idris Asy-Syafi’i yang dinikahkan dengan Fathimah.

Pada mulanya, Idris Asy-Syafi’i—yang sedang dalam perjalanan—menemukan sebuah delima, lalu mengambilnya dan menyantapnya, sebab beliau sudah teramat kelaparan. Setelah delima itu dimakannya, barulah terpikir bahwa delima itu belum sempat dipastikan kehalalannya.

Beliau takut buah yang dimakannya itu kelak menjadi sebab beliau dimasukkan ke neraka. Tidak ada cara lain untuk menghindarinya, kecuali menemui si pemilik delima, lalu meminta keridhaan darinya. Itulah yang beliau lakukan.

Perjalanan yang menyusahkan beliau tempuh agar tetap bisa bertemu pemilik buah delima itu. Setibanya di tempat, beliau menceritakan apa yang sudah terjadi, juga apa yang beliau inginkan.

Singkatnya, pemilik buah delima itu pun memutuskan untuk menikahkan Idris Asy-Syafi’i dengan putrinya, Fathimah. Dari kejujurannya, ketakutannya terhadap neraka, sudah jelas bisa diketahui kebaikan agama dan akhlaknya. Dan dari pernikahan yang berkah ini, lahirlah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (Imam Syafi’i) yang sekarang kita kenal sebagai ulama fikih. Mazhabnya yang terbesar di antara tiga imam mazhab lain. Ilmunya masih terus dipelajari sampai sekarang, beratus tahun setelah beliau meninggal.

Kisah yang mirip juga terjadi pada Mubarok. Beliau bekerja di sebuah kebun milik seseorang yang baik agamanya. Suatu waktu, pemilik kebun itu mengunjungi kebunnya, lalu menyuruh Mubarok untuk mengambilkan untuknya satu buah yang manis rasanya.

Agak lama, datanglah Mubarok dengan membawa buah yang dimaksud. Pemilik kebun itu pun mencicipinya.

“Ah, apa-apaan ini. Bukankah aku menyuruhmu mengambil buah yang manis? Kenapa rasanya malah kecut? Tidak bisakah engkau membedakan mana yang manis dan mana yang kecut?” tanya sang pemilik kebun.

Jawab Mubarok, “Maaf, Tuan. Saya memang tidak bisa membedakannya. Saya pun tidak pernah mencobanya. Tugas saya di sini hanya membersihkan pekarangan kebun, maka saya tidak berhak untuk mengambil buahnya.”

Pemilik kebun itu terkagum-kagum menyaksikan kejujuran dan sifat amanah Mubarok. Beliau pun memutuskan untuk menikahkan Mubarok dengan putrinya. Dari pernikahan yang agung ini, lahirlah Abdullah bin Mubarok, seorang ulama yang sering dikutip ilmu dan pandangannya dalam berbagai kitab. Masyaallah.

Lelaki atau wanita yang baik agama dan akhlaknya itu permata di dunia ini. Teramat berharga. Sekali saja dilewatkan, akan sangat sulit mendapatkan yang serupa dengannya. Kesempatan itulah yang tidak ingin dilewatkan oleh orangtua yang memahaminya. Terlebih bagi pihak wanita, sebab termasuk di antara kewajiban seorang ayah adalah mencarikan suami yang baik bagi putrinya.

Sahabatku, soal usia menikah, di tengah masyarakat kita mungkin saja masih ada begitu banyak stigma bagi yang menikah muda. Hal itu tidak perlu melemahkan tekad kita bila ternyata kita memang sudah siap dan telah tumbuh kebutuhan untuk segera menikah. Lagi pula, pernikahan adalah karunia dari Allah Swt. Bila sudah tiba waktu yang tepat menurut-Nya, seseorang pasti akan dituntun-Nya untuk menikah. Soal kapan waktunya, hanya Allah Swt. yang tahu. Tugas kita adalah berniat dan mempersiapkan. Itu saja.