Memahami Ujian dalam Rumah Tangga

Daftar Isi

Memahami dan Menghadapi Ujian dalam Rumah Tangga
Abusyuja.com - Sahabatku, ujian adalah suatu hal yang tidak pernah hilang dari hidup kita. Pasalnya, ujian itu adalah pemisah antara yang sejati dan yang tidak. Oleh karena itulah, iman pun menuntut ketangguhan menghadapi ujian. Sebagaimana firman Allah Swt. berikut:

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tak diuji lagi?” (QS. Al-‘Ankabut: 2)

Kita perlu menumbuhkan ketangguhan menghadapi ujian ini secara pribadi, agar kita bisa menjadi sosok yang tegar di atas prinsip, kokoh berdiri mempertahankan nilai dan keyakinan. Ketika kita telah memasuki wahana baru dengan menikah dan berkeluarga, kita pun diuji agar keluarga kita menjadi keluarga yang tegar dan kokoh.

Sahabatku, agar kita bisa tegar dan kokoh, terlebih dulu haruslah kita pahami apa yang sedang kita hadapi. Nah, apa saja yang menjadi ciri setiap ujian?

Pertama, ujian mesti berat. Tidak perlu kita mengeluhkan beratnya ujian yang datang kepada kita, sebab ujian memang berat. Bukan ujian namanya kalau ringan-ringan saja. Dan, kalau tantangannya ringan, tetap tidak akan bisa dibedakan mana yang tegar dan mana yang mudah luntur, mana yang kokoh dan mana yang rapuh.

Kedua, meskipun ujian itu berat, tetap punya solusi. Tidak ada ujian yang datang tanpa solusi, sebagaimana tidak pernah terembus badai yang tidak berhenti. Ujian punya masa untuk pergi, yaitu setelah memastikan bahwa kita bisa mengatasinya.

Ketiga, ujian itu datang sesuai dengan kadar kesanggupan kita menanggungnya. Tidak pernah salah sasaran, sebab yang mengaturnya adalah Allah Swt.

“Katakanlah, ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami sesuatu hal, melainkan yang telah ditetapkan oleh Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami dan hanya kepada Allah bertawakkal orang-orang yang beriman.’” (QS. At-Taubah: 51)

“Allah tidak membebani seseorang, kecuali berdasarkan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Inilah langkah pertama agar bisa menjadi pribadi yang tegar dan kokoh, yakni mempunyai pemahaman yang benar. Selanjutnya, pemahaman inilah yang harus kita tanamkan pula pada pasangan dan anggota keluarga kita saat ujian datang melanda keluarga kita.

Langkah selanjutnya ialah keyakinan. Banyak orang yang sebenarnya tahu dan paham, tapi tidak meyakini. Kenapa? Pemahaman itu tumbuh berdasarkan sesuatu yang sudah ada, sudah terlihat, dan sudah pernah dirasakan. Sementara keyakinan, ia tumbuh di hati untuk sesuatu yang belum terjadi.

Ketika menyaksikan seseorang yang mendapatkan keajaiban, sembuh dari penyakit ganas misalnya, lisan kita mudah saja mengakui bahwa itu adalah keajaiban yang datangnya dari Allah Swt. Akan tetapi, bagaimana bila orang yang sedang menderita penyakit itu diri kita sendiri? 

Bisakah kita tetap yakin pada pertolongan Allah walaupun sudah berkali-kali pergi ke dokter yang berbeda-beda, tapi ternyata hasilnya masih nihil? Bisakah kita tetap yakin pada pertolongan Allah, tak berputus asa, walaupun sudah menderita penyakit itu dalam waktu yang lama?

Di sekitar kita banyak kisah keluarga sukses yang awalnya sangat sederhana, tapi tetap rajin beribadah, bekerja, dan memohon pertolongan Allah Swt., sehingga akhirnya bisa berhasil. Rumah yang sebelumnya ngontrak, sekarang sudah punya sendiri, itu pun sangat asri. Dari yang sebelumnya punya penghasilan bulanan sangat sedikit dan selalu kurang, kini sudah bisa mendapatkan penghasilan harian yang jumlahnya lebih dari cukup. 

Ketika menyimak kisah mereka, kita tahu dan paham bahwa seperti itulah cara Allah menolong hamba-Nya. Lalu, sanggupkah kita tetap yakin ketika keluarga kita yang sedang diuji? Sanggupkah kita tetap yakin pertolongan Allah akan datang dan keadaan akan berubah, walaupun kita sudah berupaya sekian lama? Sanggupkah kita tetap yakin berupaya dengan cara yang digariskan Allah dan menghindari cara yang haram, walaupun orang di sekitar kita yang menempuh jalan haram ternyata sudah lebih awal memperlihatkan hasil?

Sahabatku, soal keyakinan tak bisa lepas dari kondisi iman kita kepada Allah Swt. Mari kita evaluasi diri dan kita bersihkan hati yang menjadi tempat iman itu dari noda dosa, sebab dosa-dosa akan menutupi bersih dan beningnya hati. Dan itulah langkah selanjutnya, yaitu muhasabah (introspeksi) diri dan keluarga.

Bukan Allah Swt. yang tega mengubah kondisi kita yang sebelumnya senang menjadi duka, dari yang sebelumnya nyaman menjadi mencekam, yang sebelumnya indah menjadi ricuh. Bukan. Tetapi, kitalah yang berubah. Kitalah yang menjauh dari-Nya.

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga kaum itu sendiri yang mengubah apa yang ada pada diri mereka masing-masing.” (QS. Ar-Ra’d: 11)

Soal rezeki, bukan Allah Swt. yang dengan kejam menghalang-halanginya. Juga bukan Allah yang pelit memberikannya kepada kita. Bukan pula Allah yang zalim menyiksa kita, tetapi dosa kita bisa menjadi penghalang antara kita dengan rezeki. Rasulullah Saw. bersabda, “Sungguh seorang hamba terhalang dari rezeki dikarenakan dosa yang telah diperbuatnya.” (HR. Ahmad)

Alangkah bijak, jika kita menjadikan ujian yang datang sebagai teguran dari Allah Swt. Datangnya ujian itu bukan lagi menjadikan kita berburuk sangka kepada Allah, tapi segera mengevaluasi diri: keburukan apa yang sudah kita perbuat, apa yang sudah kita lalaikan, dan kesalahan apa yang kita sembunyikan. Jika itu yang kita lakukan, insya Allah keadaan kita akan menjadi semakin baik.

Kemudian, tentu saja, kita harus berikhtiar. Kita tidak boleh berpangku tangan, lalu mencita-citakan banyak hal. Cita-cita seperti itu hanya akan menjadi impian kosong. Tidak akan pernah tercapai.

Rasulullah Saw. pernah menegur seorang sahabat yang menepiskan pentingnya ikhtiar. Ada seorang lelaki yang kuat fisiknya, tapi memilih untuk menjadi peminta-minta. Ia bisa bekerja kalau saja dia mau. Sebab itulah, Rasulullah tidak memberinya uang cuma-cuma.

Kepada lelaki itu, Rasulullah Saw. bertanya kira-kira begini, “Apakah kamu mempunyai sesuatu di rumah?”

“Ya. Kami punya selembar permadani. Setengahnya kami pakai untuk alas tidur dan setengahnya lagi kami jadikan selimut. Selain itu, kami juga punya satu nampan untuk dipakai makan,” jawab lelaki itu.

“Bawalah dua barang itu padaku,” perintah Rasulullah Saw.

Lelaki tadi datang dengan barang-barangnya, kemudian Rasulullah Saw. pun melelangnya. Ada sahabat yang mau membelinya seharga dua dirham. Rasulullah memerintahkan sahabat tadi menggunakan satu dirham untuk keperluannya, satu dirham lagi untuk membeli kampak. Lelaki itu pun pergi dan memenuhi perintah Rasulullah.

Rasulullah Saw. kemudian memberikan gagang kampak dari kayu yang beliau buat sendiri, lalu menyuruh lelaki itu menggunakan kampaknya untuk mencari kayu agar bisa dijual.

Sepuluh hari kemudian, lelaki tadi datang kepada Rasulullah Saw. Keadaannya sudah jadi lebih baik. Ia tidak lagi menjadi peminta-minta, justru ia menjadi pemberi bagi siapa yang membutuhkan.

Demikian Rasulullah Saw. mengajarkan kepada kita betapa pentingnya ikhtiar. Tidak boleh hanya berpangku tangan dengan alasan tawakal kepada Allah Swt.

Seorang sahabat yang lain juga pernah dinasihati dengan lembut oleh Rasulullah Saw. Sahabat itu memasuki masjid setelah “memarkirkan” untanya di halaman. Beliau bertanya, “Kenapa kamu biarkan saja untamu dan tidak mengikatnya?”

Jawabnya, “Saya bertawakal kepada Allah, ya Rasulullah.”

“Ikatlah dulu untamu, baru bertawakal,” jelas Rasulullah Saw. dengan lembut.

Sahabatku, setelah berikhtiar, barulah kita bertawakal kepada Allah Swt. Kita serahkan semua urusan kita kepada Allah. Kita tidak tahu mana hasil yang terbaik. Kita hanya berharap keinginan kita diluluskan, padahal bisa jadi yang kita inginkan itu berdampak buruk. Allah Maha Mengetahui, maka tidak ada pilihan yang lebih baik selain tawakal kepada-Nya.

“Dan barang siapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupinya.” (QS. Ath-Thalaq: 3)

Lima langkah inilah yang mesti kita ayunkan untuk menghadapi ujian-ujian yang tiba di tengah kita: memiliki pemahaman yang benar, membangun keyakinan, muhasabah diri dan keluarga, berikhtiar dan bertawakal kepada Allah Swt. Semoga Allah selalu bersama kita dalam keadaan apa pun yang kita hadapi. Aamiin.

Sahabatku, agar harapan kita tetap selaras, kita meski melangkah bersama. Suami dan istri sama-sama punya harapan dan yakin bahwa perjuangan keduanya akan bersambut pertolongan Allah, sehingga berhasil. Itu akan membuat harapan itu cepat terealisasi. Tetapi, kalau satu yakin dan satunya lagi tidak, maka terwujudnya impian dan terhadapinya ujian akan jadi tersendat-sendat.

Selain itu, keutuhan hubungan juga akan menjadi semakin kokoh apabila perjuangan tetap ditempuh bersama. Rasa sakit yang dicicipi bersama-sama semoga kelak menjadi rasa manis yang juga dirasakan bersama-sama. Percayalah, itu indah. Insya Allah.