5 Upaya Hukum dalam Penyelesaian Perkara Waris
Secara garis besar, upaya hukum dibagi menjadi dua upaya, yakni upaya biasa dan luar biasa.
Upaya hukum biasa terdiri dari dua: keberatan, verzet atas verstek.
Sedangkan upaya hukum biasa luar biasa adalah peninjauan kembali (PK).
1. Keberatan
Keberatan menjadi bagian upaya hukum di pengadilan Agama dalam perkara gugatan sederhana.
Ketentuan tentang upaya ini terapat pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2019 yang merupakan perubahan dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Gugatan Sederhana.
Setelah putusan hakim dijatuhkan, para pihak yang merasa tidak puas dapat mengajukan keberatan terhadap putusan dalam jangka waktu 7 hari.
Berbeda dengan gugatan sederhana yang diperiksa oleh hakim tunggal, permohonan keberatan akan diperiksa Majelis Hakim.
Upaya hukum keberatan menjadi upaya terakhir dalam gugatan sederhana.
Sedangkan di dalam perkara waris tidak mengenal adanya gugatan sederhana karena gugatan waris tidak menjadi bagian dari kriteria sengketa yang dapat dikategorikan gugatan sederhana.
2. Perlawanan Terhadap Putusan Verstek
Putusan verstek merupakan putusan yang dijatuhkan di mana pihak tergugat tidak hadir.
Ketentuan tentang pengajuan verzet tercantum dalam Pasal 129 HIR/153 R.Bg.
Jika putusan hakim diberitahukan kepada orang yang kalah itu sendiri, maka perlawanan hanya boleh diterima dalam empat belas hari sesudah pemberitahuan.
Intinya, tergugat punya hak mengajukan perlawanan sampai empat belas hari sejak putusan disampaikan kepada tergugat.
Ketentuan ini berbeda seandainya pemberitahuan putusan tersebut tidak disampaikan kepada tergugat langsung, misal disampaikan melalui Kepala Desa atau Lurah.
Pihak tergugat juga punya hak mengajukan perlawanan sampai dengan hari ke 8 (delapan) sejak dilakukannya sidang aanmaning, dengan catatan, pemberitahuan putusan verstek tidak diterima langsung oleh tergugat.
Aanmaning adalah proses eksekusi untuk menegur termohon eksekusi agar melaksanakan isi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Teguran ini dilakukan terhadap permohonan eksekusi putusan ataupun permohonan eksekusi pembayaran sejumlah uang.
Apabila tergugat tidak hadir pada sidang aanmaning, maka tergugat masih memiliki hak untuk mengajukan perlawanan sebelum perkara tersebut sampai dengan hari ke 8 (delapan) sejak ke luar perintah eksekusi (sebelum dilakukan eksekusi).
Apabila perlawanan dikabulkan, maka perlawanan dinyatakan sebagai “pelawan yang benar” dan putusan verstek dibatalkan.
Sebaliknya, apabila perlawanan ditolak, maka pelawan dinyatakan “pelawan yang tidak benar” dan putusan verstek akan dikuatkan.
Apabila dalam pemeriksaan verstek ternyata pelawan/tergugat tidak datang lagi, maka perkara tersebut dijatuhkan secara verstek untuk yang kedua kali.
Sedangkan jika kasusnya sudah sampai di atas, maka upaya hukum lain yang dapat dilakukan oleh tergugat/pelawan adalah banding, bukan verzet.
3. Banding
Upaya ketiga adalah banding. Upaya ini dilakukan oleh pihak penggugat atau tergugat yang tidak puas terhadap putusan pengadilan tingkat pertama.
Ketentuan banding diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 1947 tentang Pemeriksaan Ulang.
Permohonan banding diajukan dalam waktu 14 hari sejak putusan dibacakan atau sejak putusan disampaikan kepada pihak yang tidak hadir saat dibacakan isi putusan.
Dalam proses banding, majelis hakim dapat menjatuhkan putusan sela untuk menambah pemeriksaan perkara oleh tingkat pertama.
Putusan sela ini biasanya dilakukan ketika Majelis Hakim merasa tidak cukup dengan hasil pemeriksaan tingkat pertama.
Proses upaya hukum banding dapat dilakukan secara manual dan secara e-litigaisi.
Proses e-litigasi jauh lebih simpel bila dilihat dari sudut waktu batas penyampaian pemberitahuan.
Pihak berperkara dapat mengajukan upaya hukum banding secara e-litigasi jika perkara pada tingkat pertama dilakukan secara e-litigasi dan putusan tingkat pertama telah diunduh dalam aplikasi yang tersedia.
4. Kasasi
Permohonan kasasi diajukan oleh pihak penggugat atau tergugat yang tidak puas terhadap putusan tingkat banding.
Ketentuan permohonan kasasi terdapat pada Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang kemudian diubah beberapa kali.
Dalam undang-undang tersebut, ada tiga batasan alasan pengajuan kasasi:
Pertama, tidak berwenang atau melampaui batas wewenang. Alasan kasasi ini berhubungan dengan kompetensi relatif dan absolut pengadilan, sedangkan melampaui batas bisa terjadi apabila pengadilan mengabulkan gugatan melebihi tuntutan yang diminta dalam surat gugatan (ultra petitum).
Kedua, salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlau. Kesalahan menerapkan hukum baik formil maupun materiil. Sedangkan maksud melanggar hukum di sini adalah penerapan hukum yang dilakukan oleh pengadilan tingkat pertama salah atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Ketiga, lalai memenuhi persyaratan yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Contoh: Hakim tidak memberikan kesempatan untuk mendamaikan dua pihak lewat mediasi, pembacaan putusan tidak terbuka untuk umum, dll.
5. Peninjauan Kembali
Upaya hukum Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum luar biasa. Tadi di atas sudah disinggung mengenai upaya hukum biasa dan luar biasa. Berikut penjelasan singkatnya:
Upaya hukum biasa hanya dapat diajukan apabila putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap. Sedangkan upaya hukum luar biasa hanya dapat diajukan terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Upaya hukum biasa dapat menghalangi eksekusi putusan, sedangkan upaya hukum luar biasa tidak dapat menghalangi eksekusi putusan.
Dari sini kita bisa simpulkan bahwa Peninjauan Kembali (PK) adalah upaya hukum luar biasa (extra ordinary remedy) yang diajukan oleh para pihak berperkara atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Ada beberapa catatan penting tentang proses Peninjauan Kembali, khususnya yang berkaitan dengan perkara waris, salah satunya adalah, permohonan Peninjauan Kembali tanpa disertai risalah Peninjauan Kembali, keterlambatan memori Peninjauan Kembali hanya berlaku satu kali, bukti yang telah dipertimbangkan bukan bukti baru (novum), penemuan novum harus jelas dan surat yang dibuat setelah perkara diputus bukan novum.
Sumber Referensi:
- Dr. H. Purwasusilo & Dr. Sugiri Permana, Hukum Waris di Indonesia (2021), halaman 100.
- Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perta Indonesia (2006), halaman 244.
- Sugiri Permana, Dasar Penetapan Kewarisan Pengadilan Agama...(2014), halaman 276.
- M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan (2012), halaman 43.
- Retno Wulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik (2007), halaman 32.