Dinamika Hukum Waris di Indonesia

Daftar Isi

Dinamika Hukum Waris di Indonesia
Abusyuja.com – Dinamika hukum waris di Indonesia bersifat kontemporer. Perkembangan hukum waris di dunia Islam maupun dunia Barat memiliki dampak atau berimplikasi pada hukum waris yang berlaku di Indonesia.

Sejarah kodifikasi hukum keluarga di Indonesia dapat dilihat pada Undang-Undang No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk.

Sedangkan kodifikasi hukum waris mulai muncul sejak terbitnya buku II KHI (Kompilasi Hukum Islam).

KHI ini menandai diri sebagai awal perubahan hukum keluarga termasuk di dalamnya hukum waris.

Terdapat beberapa hal penting di dalam buku waris yang terdapat pada buku II KHI, di antaranya yaitu:

Pertama, adanya batasan ali waris jika semua ahli waris ada yaitu ayah, ibu, anak, suami/istri.

Selama masih ada kelompok di atas, maka ahli waris yang lain menjadi ter-hijab/terhalang.

Kedua, berkenaan dengan pelembagaan wasiat wajibah.

Anak angkat mendapatkan hak untuk menikmati tirkah (harta peninggalan) orang tua angkatnya berdasarkan wasiat wajibah.

Ketiga, ahli waris pengganti yang dapat melindungi cucu, karena cucu yang ditinggal mati oleh orang tuanya akan menempati kedudukan orang tuanya untuk mendapatkan hak waris.

Beberapa teori dasar hukum waris yang terdapat dalam KHI ini kemudian dikembangkan melalui Yurisprudensi (putusan) Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Putusan Pengadilan ini merupakan bagian dari empat produk pemikiran hukum Islam di samping kitab-kitab fikih, undang-undang, dan fatwa-fatwa ulama.

Pembatasan ahli waris, pelembagaan wasiat wajibah, dan adanya ahli waris pengganti menjadi bagian dari perubahan besar hukum waris di Indonesia.

Yurisprudensi MA telah mengembangkan ketika perubahan hukum tersebut sehingga terjadilah pergeseran hukum yang dapat dipetakan seperti di bawah ini:

1. Anak Perempuan Meng-hijab Saudara

Kedudukan anak perempuan ini pada beberapa kasus dalam meng-hijab saudara.

Dalam kajian fikih, hukum seperti ini terjadi pada mazhab Syiah. 

Di kalangan sahabat, pendapat ini berawal dari sikap Ibn Abbas yang mengartikan kata “ibn” yang terdapat pada surat an-Nisa ayat 176 sebagai “anak”, baik anak laki-laki maupun anak perempuan.

Yurisprudensi menegaskan bahwa anak perempuan meng-hijab saudara sama seperti halnya anak laki-laki.

2. Pembatasan Ahli Waris Pengganti kepada Cucu

Teori penggantian ahli waris ini berasal dari KUHPerdata yang dikenal dengan plaatverpulling.

Teori ini kemudian diterapkan dalam Pasal 185 KHI. Penggantian ahli waris dalam fikih tidak dikenal kecuali terhadap cucu laki-laki dari anak laki-laki yang kemudian dianggap sebagai anak laki-laki.

Dalam sejarah kodifikasi hukum Islam, anak perlindungan terhadap cucu dilakukan dengan wasiat wajibah seperti yang telah dilakukan oleh beberapa negara Muslim seperti Mesir.

Wasiat wajibah diterapkan sebagai salah satu cara untuk melindungi cucu yang ditinggal mati oleh orang tuanya sebelum pewaris meninggal dunia.

Semangat terhadap perlindungan cucu ini diadopsi di Indonesia dengan mempergunakan teori ahli waris pengganti, bukan dengan wasiat wajibah.

Mahkamah Agung memberikan batasan terhadap pengganti ahli waris ini hanya kepada cucu pewaris saja.

Hal ini berbeda dengan penerapan wasiat wajibah, di beberapa negara Muslim terdapat variasi penerapan wasiat wajibah baik yang tidak membatasi pada cucu maupun yang membatasinya.

3. Wasiat Wajibah untuk Anak Tiri, Dzawil Arham, dan Ahli Waris Non Muslim

Wasiat wajibah yang semula di negara-negara Muslim diterapkan dalam rangka melindungi cucu, ternyata di Indonesia sebagaimana dalam KHI, wasiat wajibah juga diterapkan untuk melindungi anak angkat dan orang tua angkat.

Mahkamah Agung telah mempergunakan teori wasiat wajibah ini untuk melindungi hak-hak anak tiri, dzawil arham, serta ahli waris non Muslim.

Kelompok ini, meskipun menurut fikih tidak mendapatkan hak waris, tetap menurut Mahkamah Agung dapat menikmati harta peninggalan berdasarkan wasiat wajibah.

4. Ahli Waris Bertingkat

Ahli waris bertingkat terjadi ketika salah satu atau beberapa ahli waris meninggal dunia sebelum ahli waris dibagikan.

Dalam kajian fikih dikenal dengan sebutan munasakhah.

Mahkamah Agung cenderung mengedepankan teori ahli waris bertingkat daripada munasakhah.

Terdapat perbedaan struktur kewarisan antara munasakhah yang ada dalam fikih dengan ahli waris bertingkat yang digunakan oleh Mahkamah Agung.

Meskipun keduanya akan memberikan hasil yang tidak berbeda, munasakahah cenderung menempatkan ahli waris yang ada, menjadi ahli waris dari pewaris asal.

Sedangkan ahli waris bertingkat akan diperlihatkan struktur secara berurutan mulai dari pewaris pertama, kedua, dan selanjutnya.

5. Kumulasi Sengketa Waris

Dinamika hukum waris di Indonesia yang kelima adalah kumulasi sengketa waris.

Sengketa waris dapat diajukan ke Pengadilan secara tersendiri maupun kumulasi dengan gugatan lainnya.

Kumulasi gugatan ini seringkali terjadi pada sengketa harta bersama, wasiat, dan hibah.

Bentuk penyelesaian sengketa waris ini tidak terlepas dari hukum materiil dan formil yang berlaku di Indonesia.

Lembaga harta bersama merupakan bagian dari hukum perkawinan di Indonesia.

Dalam tradisi fikih, tidak dikenal adanya harta bersama antara suami dan istri karena sejatinya dalam berumah tangga seorang suami memiliki tanggung jawab menu terhadap rumah tangga.

Di sisi lain, hukum acara perdata peradilan agama memungkinkan adanya penyelesaian secara kumulasi antara hukum waris dengan harta bersama, wasiat, ataupun hibah.

Kesimpulan

Muara hukum sengketa waris di Indonesia adalah lembaga peradilan dan Mahkamah Agung, yang mana menjadi lembaga tertinggi dalam menyelesaikan sengketa tersebut.

Pemahaman terhadap hukum waris yang terdapat pada putusan-putusan Mahkamah Agung akan menunjukkan adanya bentuk penyelesaian waris yang bersifat kontemporer atau pembaharuan hukum waris di Indonesia.

Demikian kajian singkat mengenai dinamika hukum waris di Indonesia. Semoga apa yang kami bagikan bermanfaat.

Sumber Referensi:

  • Hukum Waris di Indonesia, karya Dr. H. Purwosusilo, S.H., M.H, dan Dr. Sugiri Permana, S.Ag., M.H.
  • Reformasi Hukum Islam di Indonesia Tinjauan dari Aspek Metodologis, Legalisasi, dan Yurisprudensi, karya Abdul Manan.
  • Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, karya M. Antho Mudzar.