Pengertian dan Makna Filsafat Ilmu (Lengkap)

Daftar Isi

Pengertian dan Makna Filsafat Ilmu (Lengkap)
Abusyuja.com - Kata filsafat diambil dari bahasa Arab, sedangkan kata falsafah berasal dari bahasa Yunani, yaitu philosopia kata majemuk yang terdiri dari kata “philos” yang berarti cinta atau suka dan “shopia” yang berarti bijaksana.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa filsafat menurut asal katanya berarti cinta akan kebijaksanaan, atau mencintai pengetahuan.

Cinta dalam hal ini mempunyai arti yang seluas-luasnya, yang dapat dikemukakan sebagai keinginan yang menggebu dan sungguh-sungguh terhadap sesuatu.

Sedangkan kebijaksanaan dapat diartikan sebagai upaya mencari kebenaran yang sejati.

Jadi, filsafat secara sederhana dapat diartikan sebagai keinginan yang sungguh-sungguh untuk mencapai Kebenaran yang sejati.

Filsafat merupakan induk ilmu pengetahuan. Menurut J. Gredt dalam bukunya Elementa Philosophie, bahwa filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang timbul dari prinsip-prinsip mencari sebab-sebabnya yang terdalam.

Selain itu, filsafat dapat juga dipahami sebagai ilmu pengetahuan yang berupaya mempelajari apa adanya dan bagaimana, atau mengapa adanya, dan ahlinya disebut filsuf.

Formulasi ilmu pengetahuan modern yang dibangun atas bagi yang murni oleh Rene Descartes telah membawa akibat-akibat buruk yang luas terhadap dimensi ontologi, aksiologi, dan epistemologi ilmu pengetahuan.

Pengertian ilmu pengetahuan dibatasi hanya pada cabang ilmu alam semata dan pengertian epistemologi.

Ilmu pengetahuan juga dibatasi pada pengertian metode-metode eksperimental belaka, sehingga cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tidak berobjek pada benda-benda alam, dan apabila tidak menggunakan metode-metode eksperimental, dianggap bukan ilmu pengetahuan.

Hal ini membuat sains menjadi bidang pengetahuan yang eksklusif dan tidak memberikan manfaat apapun terhadap lingkungannya.

Dalam  persepsi lain desain-desain modern, khususnya yang berbentuk teknis dianggap sebagai perusak lingkungan.

Untuk membuktikan sifat-sifat saintifik dari cabang-cabang ilmu dapat diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, yaitu: 

Bentuk pertama, mereka yang membuktikan dengan cara menggunakan metode-metode otonom yang sesuai dengan objek cabang ilmunya.

Bentuk kedua, mereka yang membuktikan dengan cara menerapkan metode-metode ilmu alamiah ke dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, sehingga timbul istilah me-mekanisme-kan terhadap manusia.

Salah satu upaya untuk mengatasi hal tersebut di atas, maka keberadaan definisi terhadap ilmu sangat diperlukan.

Ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan, atau ke-orangan, untuk memperoleh tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memperoleh penjelasan, ataupun melakukan penerapan.

Sebagai bagian dari ilmu pengetahuan global, ilmu hukum tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh perkembangan pemikiran tersebut.

Salah satu pengaruh yang paling menonjol dari perkembangan tersebut adalah menonjolnya pendekatan analitis terhadap epistemologi ilmu hukum normatif di dalam khazanah ilmu hukum.

Sebuah model epistemologi adalah logics positivisme, yaitu sebuah model epistemologi yang di dalam langkah-langkah progresifnya menempuh jalan melalui observasi, eksperimentasi, dan komparasi  sebagaimana diterapkan di dalam penelitian ilmu alam.

Dengan demikian, kebenaran dan keberhasilan ilmiah diukur secara positivisme, dalam arti yang benar dan nyata, haruslah konkret, eksak, akurat, dan memberi kemanfaatan.

Akibatnya adalah bahwa dimensi-dimensi kehidupan yang abstrak dan kualitatif menjadi terabaikan, terlepas dari pengamatan kebenaran dan kenyataan diukur serta dimanipulasikan secara positivistik.

Keresahan dan penderitaan seseorang atau masyarakat tidak disentuh, objektivitas dijelaskan secara matematis dengan  hiasan angka-angka statistik yang di sana-sini sering tidak mempunyai makna.

Runtuhnya supremasi hukum di negara kita, karena keberadaan hukum menjadi kabur, metodologinya beraneka ragam dan tanpa ketegasan, yang akhirnya ilmu hukum gagal untuk menjawab persoalan-persoalan hukum praktis yang cenderung bersifat dinamis dan progresif.

Adanya kekaburan mengenai batasan-batasan antara cabang ilmu yang satu dengan yang lain sehingga interdepensi dan  interelasi ilmu semakin terasa pula.

Oleh karena itu dibutuhkan suatu overview untuk meletakkan jaringan interaksi untuk saling "menyapa" menuju hakikat ilmu integral dan interaktif.

Untuk menjawab dan menyelesaikan segala permasalahan tersebut, ilmu hukum harus berkembang dalam kerangka proses keilmuan serta ditopang oleh filsafat ilmu.

Dalam proses keilmuan perlu dibekali filsafat ilmu sebagai salah satu cabang filsafat yang membahas perkembangan ilmu pengetahuan, metodologi, maupun sikap ilmiah, sehingga dapat menumbuhkan sifat kritis reflektif objektif rasional dalam menguji dan menemukan kebenaran.

Peranan penting dari filsafat ilmu adalah sebagai suatu refleksi filsafat yang tidak pernah mengenal titik henti dalam menjelajah kawasan ilmiah, khususnya ilmu hukum untuk mencapai kebenaran atau kenyataan, sesuatu yang memang tidak pernah akan habis dipikirkan dan tidak akan pernah selesai diterangkan.

Hakikat ilmu menjadi sebab fundamental pada kebenaran universal yang implisit melekat di dalam dirinya karena filsafat ilmu memberikan rumusan world view yang konsisten serta mengelaborasi implikasi yang lebih luas dari ilmu.

Dengan memahami filsafat ilmu, berarti memahami seluk beluk ilmu yang paling mendasar, sehingga dapat dipahami pula perspektif ilmu, kemungkinan pengembangan dan keterjalinannya antara cabang ilmu yang satu dengan yang lain khususnya antara filsafat ilmu dan ilmu hukum yang sangat erat di mana aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi menjadi dasar dan pendorong bagi perkembangannya ilmu hukum.

Filsafat hukum juga merapatkan hukum pada kehidupan yang lebih luas lebih mendalam dan lebih intern.

Sebelum memberikan pengertian terhadap filsafat ilmu, terlebih dahulu akan dibahas mengapa manusia berfilsafat.

Wust, Seorang filsuf Jerman memberi penjelasan tentang perlunya manusia berfilsafat. Manusia baru filsafat karena ia adalah manusia, berbeda dengan binatang yang tidak berpikir tentang hidupnya.

Maka, manusia karena ia "manusia", terpaksa harus berfilsafat, yaitu karena sesuai dengan sifat manusianya sendiri, berkeinginan mempunyai pegangan mengenai masa depannya, terutama setelah ia meninggal.

Berdasarkan inilah maka filsafat berusaha memberikan jawaban-jawaban atas pertanyaan yang diajukan manusia mengenai diri, eksistensi ataupun tujuan hidupnya, serta keadaan dirinya dalam alam semesta.

Selain mencoba membantu dan menolong manusia untuk memberi jawaban-jawaban atas beberapa pertanyaan yang mungkin tidak akan terjawab, filsafat juga membantu manusia menghayati agama, oleh sebab itu, filsafat dapat dikatakan mempunyai tujuan praktis.

Tujuan praktis tersebut dapat dilihat dari asal kata, philosophia yang berarti cinta akan kebijaksanaan.

Dengan memperdalam banyak perasaan-persoalan, maka manusia  berharap dapat menjadi bijaksana. 

Metode dalam Berfilsafat

Pada era modern ini, umumnya telah disepakati bahwa untuk mempelajari ilmu filsafat terdapat dua jenis metode, yaitu dengan:

1. Metode Historis

Metode historis yaitu mempelajari sejarah perkembangan filsafat sejak dahulu hingga saat ini.

2. Metode Sistematis

Metode sistematis, yaitu mempelajari isi dari sesuatu, yakni mempelajari lapangan  pembahasannya yang diatur dalam bidang-bidang tertentu.

Di dalam metode historis dapat dipelajari sejarah perkembangan filsafat sejak dahulu hingga saat ini, sehingga dapat dipahami perihal riwayat hidup tokoh-tokoh filsafat, bagaimana timbulnya aliran filsafatnya dalam segala persoalannya, serta bagaimana pendapatnya tentang logika metafisika etika, dan keagamaan.

Dengan metode sistematis, seseorang dapat membahas secara langsung isi persoalan dari ilmu filsafat.

Orang dapat membagi persoalan ilmu filsafat ke dalam bidang-bidang tertentu, misalnya dalam bidang logika, dibahas tentang mana yang benar dan mana yang salah menurut pertimbangan akal, bagaimana cara berpikir yang benar dan salah, serta di dalam etika dibahas tentang mana yang baik dan mana yang buruk dalam perbuatan manusia.

Tugas Utama Filsafat

Filsafat mempunyai dua tugas utama, yaitu:

Tugas kritis: mempertanyakan kembali paradigma paradigma ilmu yang telah mapan.

Tugas konstruktif:  menjawab masalah-masalah yang tidak terpisahkan oleh ilmu, bahkan menyatukan kembali ilmu-ilmu yang telah berjalan sendiri-sendiri seolah-olah tidak ada keterkaitan antara satu ilmu dengan  ilmu lainnya.

4 Jenis Filsafat Menurut Aristoteles

Aristoteles telah membagi Ilmu Filsafat yang begitu luas menjadi empat jenis cabang, yaitu:

Pertama, Filsafat logika, disebut juga sebagai ilmu pendahuluan bagi filsafat.

Kedua, Filsafat Teoretis, yang di dalamnya mencakup tiga jenis ilmu, yaitu:

  • Ilmu Fisika yang mempersoalkan dunia materi dalam alam nyata ini.
  • Ilmu Matematika yang mempersoalkan benda-benda alam dalam kuantitasnya (mempersoalkan jumlahnya).
  • Ilmu Metafisika yang mempersoalkan tentang hakikat segala sesuatu dan menurut Aristoteles ilmu metafisika inilah yang paling utama dari filsafat atau intinya filsafat.

Ketiga, Filsafat Praktis, dalam cabang ini tercakup tiga jenis ilmu, yaitu: 

  • Ilmu Etika yang mengatur kesusilaan dan kebahagiaan dalam hidup seseorang.
  • Ilmu Ekonomi yang mengatur kesusilaan dalam kemakmuran dalam keluarga rumah tangga.
  • Ilmu Politik yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran dalam negara.

Keempat, Filsafat poetika atau kesenian.

Dengan begitu luasnya lapangan pembahasan Ilmu Filsafat, maka para filsuf sejak dahulu hingga sekarang menitikberatkan pada persoalan utamanya pada salah satu atau ketiga-tiganya.

Persoalan Ilmu Filsafat yang bila disederhanakan dapat juga dianggap sebagai pendahuluan filsafat (logika), persoalan filsafat (metafisika), dan tujuan filsafat (etika).

Ilmu Filsafat yang sangat luas lapangan pembahasannya dan yang semula sebagai ibu dari cabang-cabang ilmu pengetahuan telah ditinggalkan oleh anak-anaknya berkat dukungan budaya Renaissance dan Aufklarung di abad XVIII.

Sejak saat itu, cabang-cabang ilmu pengetahuan berdiri sendiri beserta anak kandungnya, yaitu teknologi, yang dalam perkembangannya mengalami kemajuan secara cepat dan mendasar serta berhasil menciptakan temuan-temuan spektakuler.

Sumber Referensi:

Dr. Drs. H. Amran Suadi, S.H., M.Hum., M.M., Filsafat Hukum, Refleksi Filsafat Pancasila, Hak Asasi Manusia, dan Etika, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2019), hal. 1-6.

IKUTI BLOG