Sengketa Waris Saudara dalam Hukum Fikih Islam
Berbeda jika anak perempuan tersebut terdapat dua orang atau lebih, maka cucu perempuan dari anak laki-laki tidak mendapatkan bagian.
Alasannya, jika dua orang anak perempuan keduanya telah menghabiskan 2/3 (dua pertiga) bagian, sementara jika seorang anak perempuan mendapat ½ bagian dan seorang cucu perempuan dari anak laki-laki mendapat 1/6 bagian dan jumlah seluruhnya menjadi 2/3 bagian.
Menurut Abu Zahra ada dua keadaan yang menyebabkan saudara tidak mendapatkan hak waris.
Pertama, ketika menjadi Ashabah bil Ghair atau Ma’al Ghair dan terdapat anak perempuan sementara harta waris telah habis oleh Ashabul Furudh.
Ketentuan ini dapat diterapkan pada ahli waris terdiri dari Suami mendapatkan ¼ atau 3/12, dua anak perempuan mendapat 2/3 atau 8/12, ibu mendapat 1/6 atau 2/12 dan saudara perempuan.
Kedudukan saudara perempuan sebagai Ashabah ma’al Ghair tidak memperoleh hak waris karena harta waris telah habis oleh Ashabul Furudh.
Kedua, apabila tidak ada anak keturunan, tetapi ahli waris menghabiskan sisa harta. Ketentuan ini dapat diterapkan pada ahli waris yang terdiri dari suami, ibu, dua saudara seibu, seorang saudara sekandung, dan seorang saudara perempuan sekandung.
Menurut mazhab Hanafi dan Hambali, saudara sekandung tidak mendapatkan hak waris karena telah habis, sedangkan menurut mazhab lainnya saudara sekandung dengan saudara seibu mendapatkan hak waris yang kemudian dinamakan musharakah.
Dalam hukum waris Tunisia dan Aljazair, penyelesaian waris saudara sekandung dengan saudara seibu dinamakan dengan sebutan mushtarakah.
Ketentuan tersebut juga terdapat pada hukum waris di Sudan pada Pasal 264 ayat (3) hukum keluarga Sudan tahun 1991.
Beberapa negara muslim cenderung menggunakan mazhab Syafii dan Maliki dibandingkan pendapat Abu Hanifah dan Ahmad ibn Hambal.
Hukum waris Mesir menggunakan fikih Safii dalam mendudukkan saudara sekandung dengan saudara seibu sebagai ahli waris.
Dalam undang-undang waris, Mesir tidak secara tegas menggunakan istrilah mustharakah yang merupakan istilah dari fikih Syafii meskipun di dalamnya membahas mengenai kedudukan saudara sekandung dan seibu.
Pembahasan yang cukup luas mengenai kedudukan saudara dan seibu dapat dilihat pada hukum waris Tunisia, kedudukan saudara dibedakan antara saudara kandung, saudara sebapak dari saudara seibu.
Di Tunisia terdapat tiga teori hukum yang berbeda berkenaan dengan kedudukan saudara yaitu, mustharakah, malikiyyah ,dan akdariyyah.
1. Mushtarakah
Mushtarakah terjadi ketika yang menjadi ahli waris adalah suami, ibu atau nenek, saudara seibu, saudara sekandung seorang atau lebih.
Penyelesaian waris ini dilakukan dengan nenek, kemudian mendudukkan saudara seibu dan saudara sekandung sebagai Ashabah dengan perolehan yang sama (tanpa membedakan saudara laki-laki dan perempuan) setelah diambil suami dan ibu/nenek.
2. Malikiyyah
Malikiyyah terjadi ketika yang menjadi ahli waris adalah suami, ibu atau nenek, saudara seibu, saudara sekandung seorang atau lebih, serta dua orang kakek.
Suami mendapat ½ bagian, ibu mendapat 1/6 bagian, kakek mendapat 1/6 bagian, kakek satu lagi mendapat 1/6 bagian. Sisanya untuk saudara sekandung, sedangkan saudara seibu tidak mendapatkan hak waris.
3. Akdariyyah
Akdariyyah terjadi apabila yang menjadi ahli waris adalah suami, ibu, saudara perempuan sekandung atau seayah dan kakek. Suami mendapat 1/2, saudara perempuan sekandung atau seayah mendapat 1/2, saudara perempuan 1/3, kakek mendapat 1/6.
Bagian saudara dan kakek disatukan sehingga kakek kedudukannya seolah-olah menjadi saudara laki-laki yang mendapatkan dua kali bagian perempuan.
Demikian kajian singkat mengenai Sengketa Waris Saudara dalam Kajian Fikih. Semoga apa yang kami sampaikan bermanfaat. Wallahu A'lam