Doktrin Radikal Jama'ah Islamiyah (JI) Indonesia
Daftar Isi
Baca juga:
- Mengenal Hizbut Tahrir Dalam Menegakkan Khilafah
- Inilah Pokok Ajaran Ahmadiyah yang Harus Anda Ketahui
- Mengenal Sejarah Jama'ah Tabligh (JT) dan Tujuannya
Selain itu, berdirinya Organisasi Jamaah Islamiyah (JI) juga terkait erat dengan apa yang disebutkan dengan Negara Islam Indonesia (NII). Organisasi ini didirikan oleh beberapa aktivis NII, seperti Ustad Abdul Halim (Ustad Abdullah Sungkar, yang juga pendiri Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Surakarta).
Kala itu, Abdullah Halim adalah aktivis NII, yang bergabung dengan kekuatan Mujahidin Afghanistan berjuang melawan rezim Komunis Uni Soviet. Penulis buku Membongkar Jamaah Islamiyah, Pengakuan Mantan Anggota JI, Nasir Abas mengatakan, bisa dikatakan bahwa jamaah JI adalah pecahan dari NII. Persisnya, Organisasi Jamaah Islamiyah (JI) didirikan pada Januari 1993 di Torkham, Afghanistan.
Dasar Pemikiran Organisasi Jamaah Islamiyah (JI)
Organisasi Jamaah Islamiyah (JI) termasuk salah satu gerakan Islam radikal yang menganut prinsip jihad di jalan Allah Swt. dalam segala aspek dan sendi kehidupan. Jihad dalam hal ini diperuntukkan bagi penegakan syariat Islamiyah di manapun aktivis dan anggota organisasi ini berada. Karena itulah, menurut kalangan ini, jihad adalah jalan suci satu-satunya yang diwajibkan Allah Swt. untuk dilaksanakan umat Islam tanpa terkecuali.
Dalam melaksanakan aksinya (jihad), kadang sebagian anggota JI menghalalkan jalan kekerasan, termasuk bom bunuh diri. Ini tampak dalam kasus peledakan beberapa bom, seperti Bom Bali I dan Bom Bali II, Bom J.W. Marriott, bom malam Natal 2000, dan Bom Kedubes Australia, yang didalangi dan dilakukan oleh para aktivis JI seperti Imam Samudra, Mukhlas, Ali Imran, dan Ghufran, serta dedengkot teroris di Indonesia, Dr. Azhari, dan Noordin M. Top, keduanya warga negara Malaysia dan anggota terpenting Organisasi Jamaah Islamiyah (JI).
Pada perkembangannya, anggota dan aktivis Jamaah Islamiyah (JI) menyebar ke berbagai negara Asia Tenggara, seperti Malaysia, Filipina, dan Thailand, selain Indonesia sendiri. Menurut Nasir Abas yang juga mantan Ketua Mantaqi III dalam struktur Jamaah Islamiyah (JI), sepeninggalan pemimpin pertama JI, Ustad Abdullah Sungkar, JI mengalami perkembangan pergerakan yang cukup mendasar.
Ekspansi gerakan terjadi di berbagai wilayah. Termasuk pendirian kamp Militer Hudabiyah di Filipina Selatan untuk pelatihan kemiliteran bagi aktivis JI, serta pendirian beberapa madrasah, seperti Madrasah Lukmanul Hakim di Malaysia, oleh petinggi JI, Ustad Mustaqim di Malaysia.
Dalam perjalanannya, mulai tumbuh friksi perpecahan dalam tubuh Jamaah Islamiyah (JI), khususnya sejak didirikannya Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) pada tahun 2000. Ustad Abu Bakar Ba'asyir, pemimpin (Amir) JI sepeninggalan Abdullah Halim, didaulat menjadi pemimpin tertinggi MII.
Sebelumnya, Ba'asyir hijrah ke Malaysia bersama Sungkar karena menolak asas tunggal Pancasila, dan baru kembali ke Indonesia setelah bergulir reformasi dan Pancasila tidak lagi menjadi asas tunggal pada tahun 1998.
Sebagian anggota dan elit Jamaah Islamiyah (JI) setuju pemilihan asas pemilihan itu, namun sebagian menolak, sehingga menyebabkan mereka yang menolak akhirnya keluar dari JI. Meski demikian, JI tetap eksis melakukan aktivitasnya dalam mewujudkan cita-cita organisasinya, yakni tegaknya syariat dan negara Islam di Asia Tenggara.
Tidak setiap orang bisa menjadi anggota JI. Seperti dalam organisasi lain, JI juga memiliki beberapa syarat agar seseorang bisa pantas menjadi anggota JI. Di kutip dari buku "Membongkar Jamaah Islamiyah, pengakuan mantan JI", disebutkan bahwa syarat menjadi anggota JI sebagai berikut :
- Harus beragama Islam
- Harus memahami ajaran Allah Swt. dan Rasul-Nya
- Sebelum menjadi anggota diwajibkan iltizam (bergabung ke dalam jamaah) untuk mengikuti kajian-kajian agama selama kurang lebih 2 tahun
- Harus baligh dan berakal sehat
- Harus melewati tahap seleksi untuk memastikan tidak ada kepentingan lain didalamnya
Tetapi dalam prakteknya, tidak semua anggota dan kader JI menegakkan misi dan visi JI guna mencapai tujuan organisasi dengan cara yang damai dan santun. Sebagian, karena pemahaman mereka terhadap ajaran agama yang sempit, melakukan aksinya dengan jalan kekerasan, seperti pem-bom-an tempat-tempat publik, khususnya yang banyak didatangi kalangan asing (wisatawan).
Tragedi bali misalnya, menunjukkan hal itu. Jihad di salah pahami dengan jalan menegakkan hukum Allah Swt. dengan cara kekerasan, juga menghalalkan membunuh warga sipil asing dan lokal karena mereka dinilai kafir serta sebagai pembalasan atas tindak kezaliman pemerintah mereka terhadap kamu Muslimin di dunia. Tapi, tidak sedikit yang menempuh jalan damai. Sejatinya, kata Nasir Abas, JI telah memutuskan cara damai dan melarang jalan kekerasan dalam mewujudkan tujuan organisasi itu.
Maraknya aksi terorisme, dan keterlibatan kalangan JI dalam aksi tersebut, juga jaringan ini dinilai membahayakan, membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memasukkan JI ke dalam organisasi teroris Internasional, serta dengan Al-Qaeda dan kelompok Abu Sayyaf di Filipina Selatan. Namun demikian, secara organisatoris JI Indonesia (juga Asia Tenggara) tidak punya kaitan dengan JI baik di Mesir, Syiria, Pakistan, maupun tempat lain. Hanya kesamaan tujuan tertentu saja, yaitu sebagai gerakan yang sarat politis.