Apa Arti Nafkah Lahir Batin dalam Islam?

Daftar Isi

Apa Arti Nafkah Lahir Batin dalam Islam?
Abusyuja.com – Setelah menikah, kewajiban pertama kali seorang suami adalah menafkahi lahir dan batin. Jika nafkah adalah hak-hak yang harus dipenuhi, maka nafkah dibagi menjadi dua jenis: nafkah lahir dan batin.

Nafkah Lahir

Nafkah lahir adalah nafkah yang tampak secara lahir, seperti nafkah pakaian, makanan, dan tempat tinggal. Meski istri berhak meminta, ia juga harus mempertimbangkan kemampuan suaminya atau meminta sesuatu yang tidak berlebihan.

Maksud tidak berlebihan adalah meminta secukupnya yang sesuai dengan kebutuhan dalam rumah tangga tersebut.

Nabi bersabda,

“...Yakni, kalian memberi makan sebagaimana apa yang kalian makan, dan memberi pakaian sebagaimana apa yang kalian pakai.(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Artinya, apa yang suami makan itulah yang diberikan kepada istri. Demikian pula apa yang diminum dan dipakai, sesuai dengan standarnya.

Prinsip memberi nafkah yang paling penting adalah tidak bersikap kikir. Jauh-jauh hari seorang istri harus mengetahui detail calon suaminya, apakah ia termasuk orang kikir atau tidak.

Kikir di sini bisa diketahui dari sifat dan kebiasaannya. Misal, calon suami terbiasa jajan di tempat-tempat yang mewah dan resto yang mahal, tapi ia tidak pernah memberi, atau hanya membelikan makanan ala kadarnya (tidak serupa seperti apa yang dia makan) untuk keluarganya.

Terkadang kita mendapati calon suami yang seperti ini: anak bungsu, masih belum bisa lepas dari ibunya. Segala sesuatu diurusi ibunya, termasuk makanannya. Yang disukai hanya masakan ibunya. Maka ketika sang ibu tidak di sampingnya lagi, ia selalu akan merasa hidupnya kurang.

Ada juga laki-laki yang tinggal bersama ibunya. Ia sudah kerja, tetapi selalu minta makan enak tanpa tersedia memberi ibunya uang untuk memasak makanan enak tersebut.

Seorang calon istri harus lebih menelisik lebih dalam seperti apa calon suaminya dari kebiasaan yang dilakukan bersama keluarganya.

Apakah ia berbuat baik kepada orang tua dan adik-adiknya atau tidak. Jika tidak, berarti kepada kita pun (calon istri) juga akan bersikap sama.

Calon suami yang seperti itu jangan pernah dipilih, karena ia tidak mengetahui hak dan kewajiban. Banyak pula yang bersikap kasar. Ia seperti benalu yang kewajiban menafkahi bukannya dilaksanakan, tetapi justru menurut untuk diberi nafkah.

Seorang istri yang berada dalam situasi ini mendapatkan tekanan yang sangat besar dari suaminya. Misalnya, suaminya justru meminta dibelikan motor, pakaian, dan rumah karena penghasilan istrinya lebih besar daripada suami. Atas dalih patuh pada suaminya, istri pun mengiyakan permintaan suami.

Nafkah Batin

Setelah nafkah lahir didapatkan, nafkah yang berikutnya adalah nafkah batin yang menjadi kewajiban suami. Seorang istri mesti tahu apakah suaminya sehat atau tidak. Sehat dalam arti mampu menjalankan fungsinya sebagai seorang laki-laki (tidak impoten) dan sehat yang berarti terbebas dari penyakit kelamin, seperti raja singa dan sejenisnya.

Jika calon istri harus memeriksa kesehatan untuk menjamin bahwa alat kelaminnya terbebas dari kanker serviks dan mempunyai kesuburan, seorang calon suami pun juga seharunya memeriksakan kesehatan seksualnya.

Meski ada kalanya suami merasa sehat, tidak punya masalah seksual, tapi belum juga dikaruniai anak sampai lama sekali. Setelah diperiksakan ternyata kualitas spermanya bermasalah. Masalah ini baru diketahui setelah menikah dan menjadi kenyataan pahit yang harus diterima.

Baik nafkah lahir atau batin sama-sama perlunya. Nafkah lahir saja tanpa memberi nafkah batin membuat pernikahan menjadi hambar, sebab seorang istri tidak mendapatkan kenikmatan bercinta, sesuatu yang sangat dinanti-nantinya, karena ia tidak menelisik lebih jauh kebiasaan dan aktivitas suaminya di masa muda.

Nafkah batin saja tanpa memberi nafkah lahir, hal itu juga membuat kehidupan tidak bahagia, karena tiadanya kemakmuran dalam hidupnya.

Karena dalam pernikahan, bukan hanya melulu soal biologis, tetapi lebih banyak muamalahnya; memberi makan, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan fisik lain. Bagaimana jadinya jika anak kita banyak, tetapi kita tidak mampu menghidupi mereka? Hidup akan menjadi timpang.