Wajib Baca! Inilah 7 Dampak Pacaran dalam Islam
1. Kegalauan
Kesan menyenangkan dan membahagiakan pacaran ternyata tidak benar. Memang sekilas terasa nikmat bila bisa mempertautkan rasa dengan seseorang yang dicintai, tetapi akan keliru kalau jalan yang dipilih adalah berpacaran. Ketika melihat orang berpacaran bertukar senyum-senyum mesra, jangan buru-buru cemburu padanya. Bisa jadi, apa yang terlihat di muka itu jauh berbeda dengan apa yang bergejolak di dalam hati.
Berpacaran adalah hubungan yang menihilkan tanggung jawab. Tidak seperti pernikahan. Dua orang yang sama-sama kompromi bisa serta-merta membangun hubungan pacaran. Hanya dengan kesepakatan mereka berdua saja. Bayangkanlah, apa yang terjadi di hubungan seperti ini. Hubungan mereka bisa kapan saja retak tanpa beban. Tidak hanya itu, di sini juga tidak ada istilah “kesetiaan”, padahal hubungan yang membahagiakan itu syaratnya adalah kesetiaan.
Sebab lain yang menyebabkan maraknya kegalauan di tengah orang berpacaran ialah karakter pelakunya. Kebanyakan adalah remaja. Padahal, mereka ini, menurut istilah Ustaz Salim A. Fillah dalam buku Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan, masih berada dalam tahap dualisme kekanakan yang menajam dan kedewasaan yang menjamin.
Baca juga: Kenapa pacaran dilarang dalam Islam?
Sifat kekanak-kanakannya menajam, sebab ego (keakuannya) sedang berada di puncaknya. Masa remaja adalah waktunya membangun konsep diri; siapa dirinya, apa yang diinginkannya, dan seperti apa masa depan yang diupayakannya. Remaja masih bertanya-tanya tentang semua itu. Ia kesulitan menjawab dan memantapkan kesemuanya, sebab proses pembelajarannya sedang berjalan. Alih-alih mengerti orang lain, remaja masih berkutat memikirkan siapa dirinya. Lalu, bagaimana bila dua orang yang masih sama-sama mencari siapa dirinya ini berpadu? Perpaduan yang mereka bangun itu akan kerap bermasalah. Dan itulah yang sering terjadi.
Alangkah tepatnya Islam mengajarkan, hubungan dibentuk setelah kedewasaan matang. Itu pun bukan dengan berpacaran, melainkan pernikahan.
2. Prestasi belajar menurun
Ini ada kaitannya dengan permasalahan sebelumnya. Kegalauan bisa menghancurkan konsentrasi belajar seorang remaja. Akibatnya, prestasi belajarnya menurun. Daya serapnya terhadap ilmu juga tidak bisa maksimal. Padahal, asupan ilmu yang mumpuni akan mendewasakan seseorang, kebijaksanaannya juga akan terasah dengan ilmu.
Sahabatku, bukankah banyak yang beralasan bahwa pacaran bisa memotivasinya? Lalu, kenapa prestasi belajarnya malah bisa menurun karena pacaran? Coba tanyakan saja pada mereka yang pacaran. Saya khawatir, mereka mengatakan alasan itu hanyalah bentuk euforia (kesenangan sesaat) saja.
Kedewasaan dan kebijaksanaan itu penentu baik-tidaknya cara seseorang mengambil keputusan. Termasuk dalam membangun hubungan. Kalau keduanya belum dimiliki, maka yang terjadi ialah kehancuran. Bangunlah keduanya dengan bergiat-giat belajar, fokuskan diri selama masa remaja. Kelak, setelah usia dan pemikiran cukup dewasa, mudah-mudahan hubungan yang baik bisa dibangun dengan cara yang bijaksana.
3. Produktivitas terganggu
Kalau tadi itu menjadi sebentuk permasalahan yang bisa terjadi pada remaja, permasalahan ini bisa terjadi pada mereka yang sudah bekerja dan berpacaran. Apa sebabnya?
Orang yang menikah; sakinah (ketenangan), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih-sayang) akan dirasakannya. Terlebih yang diharapkan adalah keberkahan. Semua itulah yang menimbulkan kebahagiaan di hati orang yang menikah. Tentu, kualitas hidupnya juga akan membaik; pekerjaannya, pembelajarannya, karya-karyanya, dan amal-amalnya. Sebaliknya, orang yang berpacaran tidak bisa mengharapkan semua itu.
Ketenangan, cinta, kasih-sayang, dan keberkahan itu adalah karunia Allah Swt. yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang berjalan di atas jalan-Nya. Mereka mengamalkan apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepada mereka. Bagaimana mungkin orang berpacaran mengharapkan karunia Allah dalam hubungannya, padahal yang mereka jalani itu bukanlah ajaran Allah Swt.?
4. Perzinaan
Hubungan yang terbentuk antara seorang laki-laki normal dengan seorang wanita normal, pasti menghendaki adanya sentuhan-sentuhan fisik. Layaknya seorang suami-istri. Entah itu sedikit atau banyak. Akan sangat sulit menahan diri, terlebih ketika berada di tempat yang rawan, seperti halnya berpacaran. Nafsu yang menghendaki, bujukan setan yang merayu-rayu, serta kedekatan yang terbangun, membuat pertahanan kita semakin terganggu. Ini bukan hanya terjadi pada kita, manusia biasa. Tapi, Nabi Yusuf As. sudah pernah pula menjelaskannya.
“Sesungguhnya nafsu itu menyuruh untuk berbuat keburukan, kecuali (nafsu) yang dirahmati oleh Rabb-ku.” (QS. Yusuf: 53)
Sahabatku, perzinaan termasuk permasalahan berat yang bisa dipicu oleh hubungan pacaran. Pertanggungjawabannya pun sangat berat. Islam mengajarkan untuk menjilid (mencambuk) orang yang berzina, bahkan bila pelakunya sudah menikah, hukumannya lebih berat lagi, yakni dirajam (dilempari batu sampai meninggal dunia).
Tapi, di negeri kita kan tidak diberlakukan hukuman seperti itu? Ya. Namun, hukuman Allah Swt. tidak hanya bisa berjalan lewat begitu saja. Bisa jadi, Allah menggantinya dengan yang setara, seperti menahan rezekinya sehingga kehidupan terasa sempit, menimpakan musibah yang sulit untuk ditanggung, kehinaan di depan sesama, pekerjaan yang tidak pernah memuaskan, dan berbagai hal lainnya. Allah Swt. Maha Mengetahui lagi Mahakuasa melakukan sesuatu.
Rasulullah Saw., sebagaimana ditulis oleh Syaikh Muhammad Al-‘Arefi di dalam buku Enjoy Your Life, pernah memberikan nasihat bagi seorang pemuda yang ingin berzina. Ceritanya, pemuda itu datang ke masjid, menemui Rasulullah Saw. yang sedang berada dalam majelisnya yang berkah.
Pemuda itu tiba-tiba saja berkata tanpa ragu, “Ya Rasulullah, izinkan aku berzina!”
Rasulullah Saw. memandanginya, lalu bertanya, “Relakah dirimu bila yang melakukannya adalah ibumu?”
Pemuda itu menjawab, “Tidak. Aku tidak rela.”
“Begitu pula orang lain. Mereka tidak rela hal itu menimpa ibu mereka,” jelas Rasulullah Saw.
Rasulullah Saw. melanjutkan, “Bagaimana dengan adik perempuanmu, relakah kau bila hal itu dilakukan adik perempuanmu?”
“Tidak. Aku tidak rela hal itu menimpanya.”
“Begitu pula orang lain. Mereka tidak rela jika hal itu menimpa adik perempuan mereka.”
“Relakah dirimu,” lanjut Rasulullah Saw., “jika yang melakukannya adalah bibimu?”
“Tidak. Aku juga tidak rela hal itu menimpanya.”
Rasulullah Saw. bersabda, “Cintailah apa yang ada pada orang lain sebagaimana engkau mencintainya untuk dirimu sendiri. Bencilah yang ada pada orang lain sebagaimana engkau membencinya untuk dirimu sendiri.”
Pemuda itu pun meminta Rasulullah Saw. agar mendoakannya terbebas dari perzinaan. Maka, Rasulullah Saw. mendoakannya.
Kemudian, ia berkata, “Demi Allah, ketika aku menghadap Rasulullah, tidak ada yang lebih aku cintai daripada berzina. Namun, ketika aku keluar meninggalkan beliau, tidak ada yang lebih aku benci daripada berzina.”
Ah, sahabatku, betapa nikmatnya bila diriku bersua dengan Rasulullah Saw. Lalu, kupinta pada beliau yang mulia, “Ya Rasulullah, doakanlah juga untukku.”
Sahabatku, bila perzinaan adalah cara yang keji dalam meneruskan keturunan, pernikahan adalah caranya yang mulia. Perzinaan tidak hanya membawa dampak buruk pada pelakunya, tapi pada akibat-akibatnya juga. Di negeri kita, entah berapa banyak janin yang diaborsi karena ia merupakan hasil dari perzinaan. Belum lagi bayi-bayi yang ditelantarkan. Sungguh, kelak Allah Swt. akan mempertanyakan semuanya.
5. Depresi
Masalah kejiwaan ini juga bisa terjadi pada orang yang berpacaran. Penyebabnya, kesetiaan dan tanggung jawab yang nihil dalam status berpacaran. Korban terbanyak dalam masalah ini adalah wanita. Mereka, ketika membangun hubungan, lebih dominan memakai emosi daripada logika. Sebaliknya, laki-laki lebih dominan memakai logika. Akibatnya, wanita mengalami syok yang hebat ketika di kemudian hari dikecewakan oleh pasangannya, misalnya dengan perselingkuhan atau pemutusan hubungan secara sepihak. Bukankah dalam hubungan pacaran kedua masalah ini rentan terjadi?
Mirisnya lagi, diagnosa depresi ini dijatuhkan pada mereka yang karena tertekan hebat akhirnya berkeinginan atau bahkan sudah mencoba untuk bunuh diri. Dan itu sering terjadi karena putus cinta, merasa telah dikhianati atau dicampakkan.
6. Trauma percintaan
Saya beberapa kali mendengar kisah orang-orang yang mengalami trauma percintaan ini. Mereka sudah tidak lagi percaya dengan yang namanya cinta. Bagi mereka, ketika cinta disebutkan, yang terbayang segera di benaknya adalah penderitaan, rasa sakit, dan kekecewaan. Padahal, mereka menderita trauma bukanlah karena cinta yang sehat. Mereka itulah korban ketertipuan atas nama cinta.
Sayang sekali jika hal itu terjadi. Maka, bentuk pengejawantahan cinta yang datangnya bukan dari ajaran Allah Swt. lebih baik dihindari.
7. Permasalahan rumah tangga
Sahabatku, beberapa permasalahan yang bisa diakibatkan pacaran sudah kita bahas, sebagian terlihat ringan tapi tetap saja merugikan. Sementara beberapa di antaranya sulit dibilang ringan. Kali ini, kita bahas permasalahan lainnya, yakni permasalahan rumah tangga. Apa saja masalah yang bisa terjadi di dalam rumah tangga akibat pacaran?
Pertama, suami atau istri merasa kecewa pada pasangan karena membandingkan mereka dengan pacarnya dulu. Padahal, bisa jadi pacarnya dulu lebih mengecewakan, hanya saja sewaktu pacaran ia bisa mengelabui dengan pencitraan. Dia menunjukkan yang baik-baik dan yang indah-indahnya saja, lalu menyimpan keburukan-keburukan yang bisa jadi justru sangat memuakkan.
Kedua, perselingkuhan. Pacaran adalah hubungan yang penuh dengan tipu daya. Ini bukan mengada-ada, sebab memang begitu kenyataannya. Banyak yang mengaku perjaka, di dunia nyata atau di dunia maya, padahal sebenarnya sudah berumah tangga. Banyak yang mengaku gadis statusnya, eh ternyata sudah punya anak lima.
Perselingkuhan ini memungkinkan terjadi, sebab dalam hubungan pacaran yang dipentingkan adalah suka sama suka. Tidak peduli statusnya, yang penting menawan wajahnya, cocok menjadi pacar semasa.
Sahabatku, kita cukupkan saja pembahasan tentang akibat-akibat buruk pacaran ini sampai di bagian ini. Walaupun sejatinya masih banyak permasalahan yang belum kita bahas, tapi ini saja sudah memuakkan membacanya, begitu juga menuliskannya. Sungguh tidak enak. Maka, saya pikir itu sudah cukup bagi kita menjadi bahan pemikiran, lalu kita pun sudah bisa menjawab pertanyaan saya di awal bab ini; apakah benar bahwa pacaran itu penyakit? Apakah pacaran sudah memenuhi dua syarat untuk disebut penyakit, yakni penyelewengan dari keadaan normal atau gangguan yang membuat tidak nyaman dan masalah yang merugikan?
Semoga Allah Swt. berkenan membersihkan hati kita, sehingga kita bisa dengan jelas melihat mana yang benar, mana yang keliru. Dan marilah berbanyak-banyak berdoa kepada-Nya;
Ya Allah, mampukanlah kami melihat kebenaran itu sebagai sesuatu yang benar, teguhkanlah pula hati kami menjalaninya. Ya Allah, mampukanlah kami melihat keburukan itu sebagai sesuatu yang buruk, teguhkanlah pula hati kami meninggalkannya dan menjauhinya. Aamiin.